VISI

LETKOL.. INF. H. Drs. ARBAIN HAMDAN

Mengajak Warga Mayasyarakan Kab.Blitar Bersama Guyup Hambangun Projo Untuk Menjadikan Kabupaten Blitar Yang Lebih Baik Dimasa yang Akan Datang Yakinlah Bahwa kita Pasti Bisa !!!!!

Selasa, 06 April 2010

NIKMATNYA HIDUP BERGOTONG ROYONG

Gotong Royong sebenarnya dulu adalah ciri utama masyarakat di negeri kita tercita ini namun semangat yang telah mengakar pada masyarakat tersebut semakin hari semakin menurun, Entah karena pengaruh apa ... itu yang perlu kita renungkan sekarang.
Ada yang menarik dan inspiratif dari masyarakat diwilayah selatan Jogyakarta tepatnya di Giri Mulyo Gunung Kidul, Yogyakarta. Seperti yang diberitakan oleh Kompas Yogya (17/6/2009) bahwa masyarakat desa tersebut ternyata mampu membangun infrastruktur jalan melalui budaya gotong royong yaitu "Jimpitan". Salah seorang warga bahkan menyatakan bahwa melalui hasil jimpitan itu bukan hanya infrastruktur desa semisal jalan yang bisa dibangun, tetapi juga bisa dipinjamkan untuk pemenuhan kebutuhan warga satu RT. Jimpitan adalah secendok beras yang disumbangkan oleh warga masyarakat untuk kegiatan sosial. Jimpitan itu biasanya ditaruh di dalam cangkir atau wadah kecil lainnya dan diambil petugas ronda pada malam hari.
Secara material, orang bisa menganggap remeh tradisi jimpitan ini. Apa artinya secendok beras. Namun fakta membuktikan, secendok beras yang terkumpul tiap malam itu ternyata mampu membuahkan sesuatu yang besar. Para anggota masyarakat dusun Legundi awalnya barangkali juga tidak mengira bahwa satu sendok beras yang mereka sumbangkan itu mampu menjadi media untuk membangun infrastruktur dusun dan membantu sesamanya. Sesuatu yang kecil, namun benar-benar bermanfaat besar.
Gotong royong
Kita lantas bertanya apa sebenarnya kunci dibalik itu semua? Jawabannya tidak lain adalah gotong royong. Tradisi jimpitan masyarakat dusun Legundi tersebut bukan sekedar aktifitas sosial yang biasa-biasa saja, melainkan artikulasi dari budaya gotong royong. Inti budaya gotong royong adalah semangat saling membantu antar anggota masyarakat. Ketika seorang anggota masyarakat satu mendapatkan masalah atau mempunyai gawe besar, secara tulus mereka ramai-ramai membantu. Atau apalagi kalau itu berkaitan dengan urusan sosial kemasyarakatan yang sifatnya lebih umum. Dengan semangat gotong royong, semua anggota masyarakat tanpa merasa keki, turut ikut terlibat. Dengan saling melibatkan diri, secara implisit mereka telah bekerja sama, tolong menolong dan bantu membantu dalam menyelesiakan problematika sosial.
Inilah nilai atau manfaat besar budaya gotong royong. Manusia selamanya tidak bisa hidup sendiri. Untuk mempertahankan kehidupannya agar tetap eksis, mau tidak mau ia harus melobatkan pihak lain. Sebab, sangat tidak mungkin setiap indifidu mampu menyelesiakan problemnya dengan dirinya sendiri tanpa peran orang lain. Melihat karakter alamiah manusia yang demikian ini, Ibnu Khaldun menyatakan bahwa sesungguhnya organisasi kemasyarakatan (ijtima’ insani) merupakan suatu keharusan. Dengan organisasi ini, manusia tudak boleh tidak, sangat membutuhkan gotong royong. Selama gotong royong tidak ada, seseorang akan mendapatkan kesulitan dalam mengatasi berbagai persoalannya. Sebab, persoalan-persoalan yang ada di itu memerlukan banyak tangan dan peran untuk menyelesaikannya.
Komunitas masyarakat apapun, baik levelnya itu keluarga maupun negara, pada prinsipnya terwujud oleh kesadaran untuk bergotong royong. Ini membuktikan bahwa karakter manusia sebagai mahluk sosial tidak bisa dihindari. Untuk apa manusia membutuhkan keluarga, membutuhkan komunitas, membutuhkan organisasi sosial dan bahkan negara, tidak lain adalah untuk menjalin kerja sama dan gotong royong antar sesama anggotanya demi terwujudnya cita-cita yang diinginkannya. Dalam bahasanya Aristoteles, manusia memerlukan kebersamaan sosial dan politis dengan semua yang diimplikasikannya untuk memperoleh keuntungan, kesempatan pendidikan, pertumbuhan asketik, keilmuan dan moral dan pengetrahguan yang luas. Semangat berkomunitas dan bersosial semacam ini tidak lain adalah usaha untuk menjalin gotong royong. Karena orientasinya jelas, bahwa masing-masing indifidu ternyata saling membutuhkan yang lain untuk diajak bersama-sama mengatasi persoalan.
Dengan tradisi gotong royong itu, masing-masing indifidu bisa saling menjinjing dan menjunjung atas masalah yang mereka hadapi. Masalah satu tidak disangga oleh satu orang, tetapi ditopang oleh banyak orang sehingga menjadi ringan. Pembangunan infrastruktur dusun Legundi di atas sulit akan terwujud manakala hanya dipikul oleh satu anggota masyarakat saja. Mereka bisa “menaklukkan” problematika dusun berkat kegotong royongan mereka melalui tradisi jimpitan tersebut. Berkat gotong royong, satu sendok beras bisa membuat mereka membangun infrastruktur dusun. Kalau di dalamnya tidak ada semangat gotong royong, belum tentu mereka bisa melakukan itu.
Semakin terkikis
Sayangnya, budaya gotong royong yang begitu besar manfaatnya itu, kini perlahan mulai dilupakan oleh banyak orang. Adanya pergeseran budaya dan perubahan pola pikir masyarakat modern yang lebih menjunjung tinggi materialisme, menjadi penyebab utama. Ketika materi atau kapital sekarang bukan lagi menjadi medium, tetapi sudah menjadi kiblat dan tujuan, maka seluruh relasi sosial tidak lagi didasarkan pada nilai-nilai dan semangat persaudaraan melainkan pada keuntungan. Semuanya akhirnya harus dinilai dan diukur dengan uang. Jasa, tenaga dan pikiran seolah tidak ada artinya kalau sudah dibandingkan dengan uang. Seolah dengan uang semua urusan selesai.Perubahan budaya ke arah materialisme ini terbukti telah menggerus semangat sosial dan mendistorsi nilai-nilai kemanusiaan. Orang menghargai sesuatu pun bukan karena terdorong oleh nilai-nilai moral-kemanusiaan, melainkan lebih disebabkan karena uang dan keuntungan.
Budaya gotong royong, yang lebih disemangati oleh nilai-nilai sosial-etis akhirnya sekarang turut terkubur dari peradaban manusia. Nampaknya sudah jarang sebuah komunitas masyarakat yang masih memegang teguh nilai-nilai kegotong royongan seperti masyarakat Legundi ini. Budaya jimpitan ini nampaknya hanya hidup di sekitar masyarakat Yogya dan sekitarnya. Di tempat-tenpat lain nampaknya sudah banyak yang punah. Kalau hanya sekedar mengalami perubahan bentuk atau model tentu tidak ada masalah. Namun persoalannya kalau budaya tersebut telah mengalami keterputusan garis kontinyuitasnya. Hal ini jelas sangat membawa kerugian besar terhadap kehidupan kita sebagai anggota masyarakat.
Saatnya kita perlu merefleksikan kembali untuk menghidupkan budaya gotong royong yang sekarang mulai termarginalkan dari sistem kebudayaan kita. Melihat prestasi jimpitan yang dicapai oleh masyarakat Giri Mulyo, Gunung Kidul di atas, jelas terbayang dalam pikiran kita bahwa betapa nikmatnya hidup bergotong royong.

Jumat, 19 Februari 2010

APATISME PEMILIH DALAM PEMILU


Oleh : Aan_Amigos ' 2010

Pilkada 2010 Kab Blitar sudah di pelupuk mata. Beragam kiat dilakukan partai dan para Cabub & Cawabub untuk menjaring simpati rakyat. Mulai iklan di media, pemasangan gambar di jalan-jalan, bahkan di tempel di tiang-tiang listrik dan tembok pinggir parit, hingga lobi-lobi di warung kopi. Tentu, itu sah-sah saja, namanya usaha. Siapa banyak mengumpul suara, berpeluang untuk menang.

Masing-masing partai, tentu mempunyai visi, misi dan program yang bervariasi. Karenanya, di sinilah pentingnya bahwa kampanye pemilu bukan sekadar mengajak rakyat untuk memilih partai / Pigur seseorang , akan tetapi bagaimana memberi ruang bagi terbangunnya pendidikan politik rakyat, sehingga rakyat cerdas, dan tidak seperti membeli kucing dalam karung.

Melihat dari strategi kampanye partai politik yang masih menggunakan model terselubung tentunya rasa pesimistislah yang mengemuka. Sebab, tidak ada sikap santun, saling menghormati, dan sikap anti disiplin yang menjadi perusak pendidikan demokrasi. Karena bagaimanpun etika dalam politik tetap harus diperhatikan.

Pada hakikatnya seorang wakil tentu harus mengenal dan dikenal oleh yang diwakilinya, Seorang Calon Bupati / Wali Kota herus dikenal dan mengenal calon yang dipimpinnya. Proses kenal-mengenal itu menjadi sebuah jembatan komunikasi membangun hubungan yang dilandasi rasa saling percaya. Sehingga pada saatnya setiap posisi mampu memainkan perannya masing – masing dengan sebaik baiknya.

Pola komunikasi politik melalui iklan di tepi jalan sebenarnya tidaklah salah. Selama memenuhi peraturan itu adalah hak kandidat. Akan tetapi ketika menempatkannya sebagai jurus utama dalam menjaring dukungan rakyat, hal itu menjadi sesuatu yang pantas dipertanyakan, belum juga cara pemempelan gambar / baliho ditempat tempat yang semestinya tidak ditempeli haruslah diperhatikan misalnya di Pohon yang merusak lingkungan harusnya dihindari.

Kondisi demikian ialah sebuah akibat, sebab tak lepas dari pengaruh bagaimana tahapan para caleg / Cabub melangkah hingga ditetapkan sebagai calon. Pertumbuh kembangan politikus negeri ini masih belum menemui formula sebagai sebuah standar yang menjamin kualitas produk caleg. Dibumbui regulasi prosedural yang setiap saat berubah-ubah, kaderisasi yang ada belum begitu meyakinkan sebagai proses demokrasi baik ditinjau dari aspek kapabilitas caleg/Cabub sebagai politisi ataupun dari sisi kedekatan dengan konstituen.

Sistem perwakilan sejatinya beranalogi alur pertumbuhan pohon yakni dari bawah ke atas. Seorang wakil lahir dan dibentuk oleh kesepakatan dan mufakat politik dari sel paling bawah akar rumput pemilihnya. Namun keadaan itu tentunya membutuhkan waktu dan proses serta kesadaran politik yang tinggi dari masyarakat. Sayang hal itu merupakan sesuatu yang belum kita miliki karena pada umumnya masyarakat hanya memaknai politik dalam periodesasi pemilu.

Pola yang terangkai di negeri ini pun justru berwujud peluncuran produk komersial, dari atas ke bawah. Seorang caleg/Cabub baru memulai proses pengenalan setelah yakin disahkan parpol sebagai calon . Layaknya launching produk baru dalam industri, caleg/Cabub tersebut diperkenalkan partai pada masyarakat yang akan diwakili. Dan dengan strategi seperti itu mereka menargetkan perolehan dukungan maksimal dari masyarakat. Secara logika hal itu tidak mungkin menghasilkan ketulusan dalam proses penunjukan wakil, namun suka tidak suka adalah realita (tuntutan pasar politik). ==> Promosi / Pengenalan Dadakan itulah yang banyak dilakukan Caleg/Cabub.
Walau tidak semua, tetapi pada kenyataanya mayoritas rakyat tidak mengenal atau belum pernah mendengar sama sekali siapa caleg / Cabub yang akan dipilihnya. Keadaan itu menjadikan iklan sebagai langkah utama dalam merebut citra di mata calon pemilih. Secara substansi politis ada untung-rugi kampanye politik ala promosi komersil tersebut.

Positifnya, memberi kesempatan kepada publik (calon pemilih) untuk secara objektif memberi persepsi dan interpretasi pada bahasa partai atau pesan kandidat tanpa terikat/tertekan pada komitmen apa pun. Kekurangannya, pencitraan pasif itu tidak memberi ruang dialogis yang seharusnya tertata. Komunikasi dua arah yang sepantasnya menjadi titik temu bagi pencairan kebekuan politik, pencarian solusi dan keterbukaan berbagai komitmen lainnya.

Pada saat ini sebenarnya banyak media yang dapat kita gunakan sebagai media interaktif yang memungkinkan komunikasi 2 arah antara calon dan konstituennya ya’ni melalui siaran dialogis melalui Radio, televisi namun itu memerlukan biaya extra , ada juga yang gratisan namun perlu waktu yaitu melalui media dunia maya ( Fece Book , Bloger dlsb) dan itu kalau seorang Caleg/Cabub mau melaksanakan insyaallah banyak manfaat nya karena konstituen bias mengritik , memberikan saran dengan bebas tanpa adanya tekanan, rasa sungkan dlsb.

Apatisme Publik

Sebab-akibat di atas pun membuat edisi kampanye Pilbub 2010 Kab. Blitar nanti belum memiliki harga patut guna menawar kejenuhan politik masyarakat. Efektivitas alternatif tersebut belum memberi nilai lebih bagi peningkatan animo masyarakat untuk memberi perhatian serius pada Pilkada sebagai pesta demokrasi.

Kita tahu dan prihatin masalah apatisme publik yang mulai akut menyangkut partisipasi politik di negeri ini. Sepanjang tahun lalu di berbagai ajang pemilihan kepala daerah (pilkada), angka golput mendominasi hasil penghitungan dari seluruh potensi suara di tiap daerah pemilihan. (Berkisar 60 % : 40 % )

Jawaban atas tanda tanya mengapa masyarakat demikian apatisnya tentu tidak terlepas dari apa yang disebut dengan belajar dari pengalaman. Refleksi kinerja pemerintah selama ini beserta tindak tanduk para pejabat yang tidak mengena di hati rakyat niscaya menjadi pelajaran bagi rakyat. Simbiosis mutualisme yang ideal terjalin antara rakyat dan wakil rakyat belum pernah nyata ditemui masyarakat.

Namun sangat disayangkan ketika buah dari pelajaran masa lalu itu adalah rasa jera, hilangnya semangat berdemokrasi, kebosanan bahkan keengganan untuk menyalurkan aspirasinya. Negara telah kehilangan kredibilitasnya di mata masyarakat karena tindak-tanduk sebagian besar abdinya.

Masyarakat akhirnya meragukan terciptanya perubahan lewat proses pemilu karena suasana yang ditampilkan selalu tidak jauh berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Saat-saat seperti ini semua pihak merasa dan mengklaim diri sebagai pihak yang dekat dengan rakyat. Padahal saat terpilih janji yang terucap seakan menguap sesaat setelah sumpah diucapkan.

Hal itu berakibat munculnya perasaan dieksploitasi di pihak rakyat karena suaranya hanya dimanfatkan untuk Objek kepentingan pribadi dan kelompok Belum diperlakukan sebagai Subjek yang nanti bisa diperdayakan kemampuannya dikemudian hari agar roda pemerintahan kita menjadi yang lebih baik. Perasaan dikhianati itu membuat publik sudah tidak menganggap pemilihan umum sebagai pesta bagi rakyat atau momen penggantungan harapan baru. Sebaliknya pemilu adalah semata-mata pesta bagi mereka yang memupus harapan itu & yang lebih hina lagi saat ini konsituen pilih yang ada DUIT nya untuk bias dipilih dan dapat menjadi pemenang dalam pergolatan tersebut.
Lewat Kesempatan ini kami menghimbau kepada kader-kader partai Golkar hendaknya bisa menjadi pelopor dalam pesta demokrasi yang akan datang , Mari kita dengungkan pendidikan partai yang santun demi meningkatnya kesadaran politik bagi masyarakat dan bagi para kader yang sudah mendapat kehormatan menjadi Anggota Dewan hendaknya bias menjadi suri tauladan bagi kader lainya disegala hal, agar citra Partai Golkar kedepan dapat berjalan sesuai Visi . Misi dan Flatform Partai Golkar dan Tahun 2015 kita bias merebut kembali simpati masyarakat pada partai ber lambing Pohon Beringin tsb dan akhirnya merebut lagi menjadi pemenang pimilu seperti dulu lagi.
Semoga Pilkada 2010 Kab. Blitar akan membawa kab. Blitar kearah yang lebih baik. Amin x yarobbal alamin